Review The Medium: Teror Dukun Thailand yang Mencekam dan Nyata

Dunia perfilman horor Asia Tenggara, khususnya Thailand, telah lama dikenal dengan kemampuannya menyajikan cerita-cerita menyeramkan yang berakar kuat pada budaya dan kepercayaan lokal. Ketika "The Medium" diumumkan, antisipasi langsung membuncah, terutama karena proyek ini merupakan hasil kolaborasi dua nama besar di kancah perfilman horor: Na Hong-jin dari Korea Selatan dan Banjong Pisanthanakun dari Thailand. Ekspektasi saya pun cukup tinggi, mengingat rekam jejak keduanya yang impresif.
Kolaborasi Sutradara Menjanjikan yang Melampaui Ekspektasi
"The Medium" resmi menghiasi layar bioskop Indonesia pada Oktober 2021, membawa serta aura misteri yang telah terbangun sejak pengumumannya. Proyek ini istimewa karena menyatukan visi Na Hong-jin, sutradara Korea Selatan yang dikenal lewat karya-karya intens dan kelam seperti The Wailing (2016) dan The Chaser (2008), dengan Banjong Pisanthanakun, maestro horor Thailand di balik kesuksesan global Shutter (2004) dan komedi horor laris Pee Mak (2013).

Dalam kolaborasi ini, Na Hong-jin mengambil peran sebagai produser, memberikan sentuhan khasnya pada atmosfer dan narasi, sementara Banjong Pisanthanakun didapuk sebagai sutradara sekaligus penulis naskah, memastikan bahwa esensi horor Thailand tetap kental terasa. Kolaborasi ini sendiri sudah menjadi jaminan kualitas bagi para penikmat horor, menjanjikan sebuah pengalaman sinematik yang tidak hanya menakutkan tetapi juga kaya akan lapisan budaya. Saya pribadi sangat menantikan bagaimana perpaduan kepekaan horor dari dua negara ini akan terwujud di layar.
Teror Gaib di Keluarga Dukun yang Meresahkan Jiwa
Film ini membawa penonton ke sebuah desa terpencil di wilayah Isan, Thailand Utara, dan berfokus pada kehidupan Nim (diperankan oleh Sawanee Utoomma). Nim adalah seorang dukun atau perantara arwah yang dihormati masyarakat sekitar, yang diyakini menjadi medium bagi roh leluhur pelindung desa, Dewa Bayan. Kehidupan sehari-harinya yang melibatkan ritual penyembuhan dan interaksi dengan dunia gaib didokumentasikan oleh sekelompok kru film. Awalnya, film dokumenter ini bertujuan untuk merekam tradisi perdukunan yang diwariskan secara turun-temurun dalam keluarga Nim.

Narasi mulai bergerak ke arah yang lebih personal dan mencekam ketika perhatian beralih pada Ming (Narilya Gulmongkolpech), keponakan Nim yang cantik dan tampak modern. Ming mulai menunjukkan perilaku aneh dan gejala-gejala yang awalnya diinterpretasikan sebagai tanda bahwa ia akan menjadi penerus Nim sebagai medium Dewa Bayan. Keluarga, termasuk kakak Nim dan ibu Ming, Noi, yang awalnya menolak keras tradisi ini, mulai melihatnya sebagai takdir yang tak terhindarkan. Tim dokumenter pun semakin antusias untuk mengabadikan proses transisi spiritual yang langka ini. Namun, seiring berjalannya waktu, Nim mulai merasakan ada sesuatu yang salah.
Gejala yang dialami Ming semakin brutal dan mengerikan, jauh dari apa yang ia kenali sebagai manifestasi Dewa Bayan. Dari sinilah konflik utama bergulir, menyeret keluarga dan tim dokumenter ke dalam pusaran teror yang tak terbayangkan, saat mereka menyadari bahwa entitas yang merasuki Ming mungkin bukanlah roh pelindung, melainkan sesuatu yang jauh lebih jahat dan kuno. Saya merasakan betul bagaimana film ini perlahan-lahan membangun rasa tidak nyaman, dari observasi budaya menjadi sebuah mimpi buruk.
Gaya Mockumentary yang Imersif dan Mencekam
Salah satu kekuatan terbesar "The Medium" terletak pada pilihan gaya penceritaannya: mockumentary atau doku-horor. Dengan mengusung konsep found footage, film ini berhasil menciptakan ilusi realisme yang luar biasa. Saya sebagai penonton seolah-olah diajak menjadi bagian dari tim dokumenter, menyaksikan setiap peristiwa mengerikan secara langsung dari balik lensa kamera. Teknik pengambilan gambar yang seringkali terkesan amatir, dengan guncangan kamera yang wajar dan sudut pandang terbatas, justru memperkuat sensasi imersi ini. Berbeda dengan beberapa film found footage yang kadang terasa berlebihan dalam guncangan kameranya hingga membuat pusing, Banjong Pisanthanakun menggunakan teknik ini dengan sangat efektif dan terkontrol.

Kamera tidak hanya menjadi alat untuk merekam, tetapi juga menjadi saksi bisu yang rentan. Ada momen-momen di mana kamera seolah terjatuh, ditutup paksa, atau dimatikan sejenak oleh para karakternya yang panik, menciptakan adegan gelap gulita yang hanya diisi suara-suara mengerikan. Pengalaman semacam ini, bagi saya, berhasil meningkatkan ketegangan secara signifikan, membuat imajinasi liar bekerja membayangkan apa yang terjadi di luar jangkauan visual. Detail seperti ini, ditambah dengan minimnya penggunaan musik non-diegetik (musik yang hanya didengar penonton), semakin mempertebal ilusi bahwa kita sedang menyaksikan rekaman kejadian nyata. Pengambilan gambar pada setiap adegan pun terasa sangat jelas menangkap detail-detail ritual dan perubahan subtil pada para karakter, khususnya Ming. Beberapa adegan yang menonjolkan aspek tradisi, seperti ritual persembahan atau upacara pengusiran setan, terasa begitu otentik dan seakan benar-benar memperkenalkan penonton pada sisi lain kebudayaan masyarakat setempat.
Koneksi Lokal dan Alur Lambat yang Efektif Membangun Penasaran
Bagi penonton Indonesia, "The Medium" memiliki daya tarik tersendiri karena banyak elemen cerita yang terasa familiar atau setidaknya memiliki kemiripan dengan kepercayaan dan cerita rakyat di tanah air. Tema kerasukan roh, praktik perdukunan, persembahan kepada entitas gaib, dan adanya sosok penjaga desa adalah konsep-konsep yang cukup universal dalam tradisi mistis di Asia Tenggara. Hal ini membuat narasi film terasa lebih dekat dan relevan, sehingga kengerian yang disajikan pun lebih mudah merasuk. Saya sendiri merasa beberapa ritual yang ditampilkan mengingatkan pada praktik-praktik serupa yang pernah saya dengar atau baca dari berbagai daerah di Indonesia.

Film ini memiliki durasi yang cukup panjang, sekitar 130 menit, dengan alur yang bisa dibilang cenderung lambat (slow-burn) di paruh awalnya. Namun, bagi saya, pendekatan ini justru menjadi salah satu kekuatannya. Alur yang tidak terburu-buru ini dimanfaatkan secara maksimal untuk membangun karakter, terutama Nim dan Ming, serta untuk memperkenalkan latar belakang budaya dan kepercayaan yang menjadi fondasi cerita. Penonton diberi waktu untuk mengenal para tokoh, memahami dinamika keluarga mereka, dan meresapi atmosfer desa yang tenang namun menyimpan misteri. Ketika teror mulai meningkat secara bertahap, dampaknya terasa jauh lebih kuat karena kita sudah memiliki ikatan emosional dan pemahaman konteks yang cukup. Bukannya merasa bosan, saya justru semakin penasaran dan terhanyut dalam setiap perkembangan cerita, menantikan dengan tegang adegan-adegan berikutnya yang semakin intens.
Penampilan Akting yang Total dan Meyakinkan
Kualitas akting dalam "The Medium" adalah pilar utama yang menopang keberhasilan film ini dalam menyampaikan teror. Para aktor, yang sebagian besar mungkin tidak terlalu dikenal oleh penonton internasional, tampil dengan sangat menjiwai dan natural, seolah mereka benar-benar individu yang terjebak dalam situasi mengerikan tersebut. Narilya Gulmongkolpech yang memerankan Ming memberikan penampilan yang sungguh luar biasa dan patut diacungi dua jempol. Transformasinya dari seorang gadis muda yang ceria menjadi sosok yang dirasuki berbagai entitas jahat sungguh meyakinkan dan seringkali sangat disturbng. Ia berhasil menampilkan berbagai macam "kepribadian" roh dengan perubahan ekspresi, vokal, dan bahasa tubuh yang drastis dan tanpa cela. Adegan-adegan kerasukan yang dilakoninya terasa begitu intens dan nyata, menunjukkan totalitas akting yang mengagumkan dan pasti sangat melelahkan secara fisik maupun emosional. Perannya sebagai perempuan muda dengan sisi liar yang berusaha melawan takdir keluarganya juga terasa pas dan melekat.

Tidak kalah memukau adalah Sawanee Utoomma sebagai Nim. Ia berhasil menghidupkan karakter seorang dukun yang tegar, bijaksana, namun juga memiliki sisi rapuh dan keraguan, terutama ketika menghadapi kekuatan yang jauh melampaui pemahamannya. Ekspresi wajahnya yang sarat emosi, mulai dari keyakinan, kebingungan, ketakutan, hingga keputusasaan, mampu tersampaikan dengan baik kepada penonton. Cara ia menyampaikan dialog, terutama saat melakukan ritual atau menjelaskan tentang dunia roh, terasa begitu otentik. Bahkan para aktor yang memerankan tim dokumenter pun berhasil menunjukkan profesionalisme sekaligus ketakutan yang wajar, menambah lapisan realisme pada film.
Misteri dan Akhir yang Menggantung
"The Medium" tidak memberikan semua jawaban secara gamblang. Alur ceritanya sengaja menyisakan sejumlah misteri dan ambiguitas, terutama terkait sifat asli entitas yang merasuki Ming dan nasib akhir beberapa karakter. Beberapa adegan penting dibiarkan tanpa penjelasan lebih lanjut, membiarkan penonton untuk merenung dan membuat interpretasi sendiri.

Akhir filmnya pun cukup mengejutkan dan bisa dibilang tidak memberikan kelegaan atau resolusi yang memuaskan bagi sebagian penonton. Bagi saya, akhir yang menggantung ini justru memperkuat dampak film. Ia meninggalkan rasa resah dan pertanyaan yang terus menghantui bahkan setelah film berakhir, sebuah ciri khas dari horor yang efektif. Konflik utama tidak sepenuhnya terselesaikan, menyiratkan bahwa kejahatan atau kekuatan kuno semacam itu mungkin memang tak terhentikan dan akan selalu ada.
Film Wajib Tonton bagi Pencinta Genre Horor
Secara keseluruhan, "The Medium" adalah sebuah mahakarya horor yang berhasil melampaui ekspektasi saya. Film ini menyajikan kombinasi brilian antara narasi yang kuat, atmosfer mencekam, akting memukau, dan penggunaan teknik mockumentary yang sangat efektif. Setiap adegan dirancang dengan cermat untuk membangun ketegangan dan menghadirkan kejutan yang mampu menjaga antusiasme penonton dari awal hingga akhir. Ini bukan sekadar film yang mengandalkan jumpscare murahan, melainkan sebuah perjalanan mengerikan ke dalam dunia perdukunan, kepercayaan kuno, dan konsekuensi mengerikan ketika batas antara dunia manusia dan dunia gaib dilanggar.

Bagi para pencinta film horor sejati, terutama yang menggemari subgenre folk horror, slow-burn, psikologis, dan mockumentary, "The Medium" adalah tontonan yang wajib masuk daftar. Film ini menawarkan pengalaman yang intens, meresahkan, dan akan membekas lama. Namun, perlu saya berikan catatan penting: film ini mengandung banyak adegan dengan visual darah, kekerasan eksplisit, ritual yang disturbng, dan tema-tema dewasa yang mungkin sangat mengganggu bagi sebagian penonton.
Bagi mereka yang memiliki hemofobia (ketakutan terhadap darah) atau sensitif terhadap konten grafis semacam itu, disarankan untuk berhati-hati atau bahkan menghindarinya. Jika Anda siap untuk diuji nyali dan pikiran, "The Medium" akan memberikan ganjaran berupa salah satu pengalaman menonton horor terbaik dalam beberapa tahun terakhir.